| Kang Bedjo Jogja |
Wajar pula kalau dalam kehidupan bermasyarakat ia selalu bersikap andap asor, ungah-ungguh, penuh tata krama, sopan-santun dan rendah hati, sehingga tidak satupun teman atau tetangga atau saudara yang membenci. Karakter inilah yang membawa Kang Bedjo Jogja menjadi banyak teman, dari birokrat, pejabat, wakil rakyat sampai pemulung dan tukang becak. Namun bukan berarti Kang Bedjo Jogja masuk dalam generasi JADUL ( jaman dulu ), yang salah satunya di tandai dengan Gaptek ( Gagap Teknologi ).
Bukti kecerdasan dan intelektualitasnya tercermin melalui buah pikiran dan gagasan-gagasannya, yang kritis, dinamis dan penuh kreatifitas, bukan pada penampilannya yang Style, cenderung sombong dan sok jumawa. Jadi tidak sia-sia kedua orang tuanya berusaha mati-matian untuk menyekolahkan Kang Bedjo Jogja hingga bangku Perguruan Tinggi, meski bapak dan si mboknya gagal menghasilkan Kang Bedjo Jogja meraih predikat Sarjana. Karena bagi Kang Bedjo Jogja, mereka di anggap sama, berhak untuk mendapatkan kehidupan dan kebahagiaan, hanya saja cara yang di tempuh masing-masing berbeda satu sama yang lain. Begitu pula sudut pandang dan ukurannya. Ini menjadi bukti bahwa sifat dan kepribadiannya yang terbuka, memang memungkinkan untuk sampai kepada pemahaman akan multi kultur, tidak terjebak kapada paham insklusif yang sempit dan individualistik. Menghargai perbedaan harus menjadi dasar bagi pengembangan kemajemukan adat dan budaya. Oleh karenanya Kang Bedjo Jogja merasa enjoy saja, kalau dalam setiap kesempatan ia harus tampil berbeda membawa/ memakai cirri khas yang cenderung nyentrik. Ini merujuk kepada pakaian adat jawa lengkap dengan blangkon, surjan dan bebet yang terkesan kuno dan sering di tinggalkan karena di anggap tidak cukup “ Level “ untuk eksistensi di tingkat dunia. Begitu juga sepeda ontelnya merek Fongers, warisan dari ayahnya sampai sekarang masih terus di rawat dan setia mengantarkan Kang Bedjo Jogja kemanapun pergi dalam rangka bersosialisasi dengan masyarakat. Ini bukan sekedar gagah-gagahan seperti lazimnya para pejabat atau selebritis yang mempromosikan naik sepeda ( secara seremonial ) dalam upaya mengurangi pemanasan global. Kang Bedjo Jogja menggunakannya sebagai perwujudan dari sikap dan kepribadian yang amat bersahaja. Naik sepeda baginya adalah sarana untuk terus dapat menjaga kegugaran tubuhnya dan terus terbuka akses untuk bersilahturahmi, karena naik sepeda memungkinkan Kang Bedjo Jogja untuk bertegur sapa dengan siapa saja. Sama halnya seprti yang saat ini sedang di budayakan kembali oleh Bapak Walikota Kota Yogyakarta, “ Segosegawe “ Sepede nggo Sekolah lan Nyambut Gawe “. Kang Bedjo Jogja sangat Respek sekali dengan kegiatan tersebut, bahwa selain bersepeda mengurangi polusi, untuk berolah-raga dan yang sangat penting adalah bisa saling bertegur sapa dan besilahturahmi. Hal tersebut sangat sulit di lakukan kalau kita menggunakan kendaraan bermotor. Kesemuanya itu bisa kang Bedjo Jogja lakukan, karena memang Ia tidak terikat oleh waktu dan pekerjaan. Kang Bedjo Jogja bisa hadir dimana saja dan kapan saja , karena memang tidak ada atasan atau institusi yang di takutinya. Ia juga bisa berperan apa saja atau dalam komunitas apapun, karena memang Kang Bedjo Jogja tidak pernah memposisikan dirinya sebagai apapun.
Jadi, menjalani hidup dengan ihklas, dengan menjaga keseimbangan antara hubungan vertical ( Ilahiah ) dan Horisontal ( kemasyarakatan ), menjadikan hidupnya penuh warna, tanpa harus kehilangan eksistensinya sebagai kepala keluarga, yang berkewajiban mencari nafkah untuk istri, anaknya dan seluruh keluarganya. Peran dan posisinya yang begitu sentral dalam keluarga. Inilah yang sering dijadikan sebagai contoh dan tauladan dan panutan bagi warga sekitar untuk mencari format yang tepat antara hidup berkeluarga dan bermasyarakat, tanpa harus mengorbankan ideologi dan harga diri, seperti yang sekarang banyak terlihat, demi mengejar kepentingan dan kebutuhan hajat hidup sesaat, banyak para pejabat dan wakil rakyat yang tega mengerogoti uang Negara dengan jalan korupsi.
Ironi memang, bangsa kita yang terus terpuruk masih harus berjuang melawan korupsi yang semakin menjadi. Akibatnya kita akan semakin tertinggal walau sumber daya alam dan manusia kita melimpah, Tetapi korupsi yang sudah membentuk jejaring secara sistematik kedalam lembaga-lembaga pemerintahaan, BUMN, maupun swasta, seakan menjadi monster dan gurita raksasa yang siap mencengkeram perkembangan demokrasi, transparansi dan akutanbilitas dalam penyelenggaraan roda pemerintahan. Ujung-ujungnya cita-cita akan tercapainya pemerintahan yang bersih dan berwibawa hanya akan terhenti sebagai fatamorgana belaka. Denga kata lain negri ini hancur dan terpuruk karena system pemerintahan yang korup yang di bentuk oleh pejabat dan petinggi negri. Seharusnya mereka menjadikan dirinya Tauladan bukan sebagai Pecundang Oleh sebab itu kehadiran sosok Kang Bedjo Jogja ditengah masyarakat yang chaos dan tidak berdaya, seakan mampu menjadi sekedar setetes embun di padang gersang jagad perpolitikan dusun Celeban Umbulharjo pada khusunya.
Sekecil apapun yang dilakukan Kang Bedjo Jogja adalah wujud nyata dari seorang patriot dalam rangka membangun kampung halamannya. Kang Bedjo Jogja cukup arif dan tahu diri akan potensi dan kemampuannya disamping sadar akan kekurangan-kekurangan sebagai manusia biasa. Sebaliknya para Pemimpin kita sering terjebak pada gagasan besar yang absurd dan nonsense. Juga pemikiran-pemikiran yang idealis dan normatife, tetapi hanya sampai pada wacana dan retorika. Kang Bedjo Jogja menjawab segala keruwetan dan caru-marut persoalan bangsa ini dengan tindakan nyata tanpa harus meminta imbalan apapun, tidak seperti para wakil rakyat yang menentukan anggaran untuk gajinya sendiri. Kang Bedjo Jogja harus membanting tulang seharian sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup kesehariannya. Tentang biaya sekolah anak semata wayang hasil perkawinannya dengan Yu Tukini, Kang Bedjo Jogja hanya terlihat mesam-mesem disamping kolam kecil di sudut pekarangannya. Ini pertanda Kang Bedjo Jogja hanya melihat sisi buram pendidikan anaknya yang harus dihadapi dengan teknologi dan kondisi financial yang mumpuni , terpaksalah Kang Bedjo Jogja hanya menggandalkan pada “ hoki’ . Sesuai namanya kali…
Mungkin ada benarnya juga sinyalemenn para tetangga, teman dan koleganya, bahwa Kang Bedjo Jogja lah yang pantas untuk menjadi pemimpin terpaksa menjadi budak. Dan budak-budak itulah yang justru melenggang mulus menjadi pemimpin dan birokrat. Wallahu ‘alam
Kang Bedjo Jogja
Original Naskah oleh Team “ Omah Produksi Kang Bedjo Jogja“